Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

DOWNLOAD EBOOK NOVEL LASKAR PELANGI - ANDREA HIRATA (GRATIS)

DOWNLOAD EBOOK NOVEL LASKAR PELANGI - ANDREA HIRATA (GRATIS)



Bab 1

Sepuluh Murid Baru PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas. Sebatang pohon filicium1 tua yang riang mene- duhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD.

Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu ter- buka. Kosen pintu itu miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A.
Muslimah Hafsari atau Bu Mus.

Seperti ayahku, mereka berdua juga tersenyum. Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali menghitung jumlah anak- anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian khawatir sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya.

Titik-titik keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya meng- hapus bedak tepung beras yang dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pemeran emban bagi permaisuri dalam Dul
Muluk2
, sandiwara kuno kampung kami.
“Sembilan orang... baru sembilan orang Pamanda Guru, masih
kurang satu...,” katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak
Harfan menatapnya kosong.
Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan kasar-
nya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria beruisa empat puluh tujuh tahun, seorang buruh
tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada