DOWNLOAD EBOOK NOVEL KAU AKU DAN SEPUCUK ANGPAU MERAH - TERE LIYE (GRATIS)
USIA enam tahun, aku suka memikirkan hal-hal aneh. Salah satunya aku pemah sibuk memikirkan: Jika kita buang air besar di hulu Kapuas, kira-kira butuh berapa hari kotoran itu akan tiba di muara sungai, melintas di depan rumah papan kami?
”Kan ada-ada saja, Bomo. Urusan kotoran saja kaulamunkan." Bapak bukannya menjawab, malah rergelak, sibuk membereskan jaring.
Aku mengeluarkan nada kecewa, pindah bertanya pada Ibu.
"Borno, jangan ranya macam-macam! Melihat tingkah kau satu macam saja Ibu sudah pusing." Ibu melotot, tangannya terus memilah milah ikan hasil tangkapan semalam, menyuruhku bergegas mengantar pesanan. jadilah, sebelum Ibu meneriakiku dua kali, aku berdiri membawa tampuk tali rotan yang ikannya kait mengait seperti setangkai buah rambai.
Tiba di rumah Koh Acong-pemilik toko kelontong yang menghadap persis Sungai Kapuas, pemesan ikan pertama pagi ini-aku bertanya sambil menjulurkan serampuk ikan segar.
"Koh, berapa panjang Kapuas?”
7
"Mana aku tahu.” Koh Acong yang sedang repot melayani
nelayan yang berbelanja keperluan rumah setelah pulang melaut
tidak memedulikanku.
"Koh pernah ke hulu Kapuas?" aku mendesak.
"Haiya, kau tidak hhat aku sibuk.’ Berapa liter gulanya? Satu setengah? Kau jadi ambil karung goni berapa? Tiga.’ Ah iya, semuanya jadi 149.650 perak." Koh Acong menceracau rincian belanja dan harga. Soal berhicung cepat, mencongak, tak ada yang mengalahkan Koh Acong. Kalkulator besar milik pedagang di perempatan kota saja kalah cepat. Misalnya kalian bawa selembar kertas belanjaan, jangan yang mudah, bawa saja yang rumit sekalian: tiga perempat bungkus kopi, satu tujuh perdua liter minyak tanah, enam perdelapan liter gula, setengah botol spiritus, dua kotak korek api, sepuluh liter betas. Tunggu sekejap, Koh Acong bagai dukun Dayak sakti merapal mantra menyebut total harga tanpa salah. Sekian rupiah. jangan protes dia salah hitung, atau perahu kalian tidak boleh merapat lagi kc toko kelontong seumur hidup.
"Ayolah, bagaimana mungkin Koh tidak tahu,” aku terus men