Ebook Dewa Izinkan Saya Menjadi Pelacur! Oleh Muhidin M. Dahlan
Sinopsis:
Dia seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk sholat, baca al-qur’an dan berdzikir. Dia menegaskan hidup yang sufistik yang demi ghirah kezuhudannya kerap ia cuma memakan roti ala kadarnya di suatu pesantren mahasiswa. Cita-citanya cuma satu : untuk menjadi muslimah yang beragama secara kaffah.
Tapi di tengah jalan ia diterpa angin puting-beliung kekecewaan. Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat islam di Indonesia yang di idealkannya sanggup mengantarkannya berislam secara kaffah ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya. Setiap tanya yang ia ejekan dijawab dengan kepercayaan yang tertutup. Berkali-kali di gugatnya kondisi itu namun cuma kehampaan yang hadir. Bahkan Tuhan yang selama ini ia agung-agungkan menyerupai “lari dari tanggung jawab” dan “emoh” menjawab keluhannya.
Dalam kondisi kosong itulah ia terjerembab dalam dunia hitam. Ia lampiaskan frustasinya dengan free sex dan memakan obat-obat terlarang. “Aku cuma ingin Tuhan melihatku. Lihat saya Tuhan! Kan kutuntaskan pemberontakanku pada-Mu!” katanya setiap kali usai bercinta yang dilakukannya tanpa ada secuilpun rasa sesal. Dari petualangan seksnya itu tersingkap topeng-topeng kemunafikan dari para penggerak yang menyetubuhi dan ditidurinya – baik penggerak sayap kiri maupun sayap kanan (islam) – yang selama ini lantang meneriakkan tegaknya moralitas. Bahkan terkuak pula segi gelap seorang dosen kampus Matahari terbit Yogyakarta yang bersedia menjadi germonya dalam dunia remang pelacuran yang ternyata anggota DPRD dari fraksi yang selama ini bersikukuh memperjuangkan tegaknya syariat islam di Indonesia.
Novel ini mengisahkan seorang mahasiswi alim dan pintar berjulukan Kirani, yang kemudian kesengsem dan masuk menjadi anggota Jemaah, yakni suatu organisasi belakang layar yang berencana menegakkan syariat Islam dengan mendirikan negara Islam di Indonesia.
Setelah menjadi anggota Jemaah, mula-mula Kirani bergairah mengerjakan dakwah dan menyumbangkan dana secara terencana dalam jumlah cukup besar, hingga ia berani mengajak keluarga dan teman-teman sekampungnya untuk mengikuti jejaknya. Namun tindakannya ternyata dikenali oleh pegawanegeri keselamatan yang kemudian memburunya, sehingga ia dibenci oleh orang sekampungnya dan mesti bersembunyi di suatu wilayah kos selama beberapa bulan. Meskipun demikian, Kirani mesti menghadapi ketidakpuasan yang kian besar, lantaran ternyata anggota Jemaah yang lain tidak mengerjakan dakwah sebagaimana dirinya dan cuma bersantai. Sementara itu selaku gadis yang pintar dan bergairah juang, upayanya untuk membahas taktik perjuangan, mengenali luasnya jaringan dan arah serta kondisi organisasi senantiasa kandas lantaran ternyata tidak seorangpun diantara rekan-rekan anggota jemaah yang tinggal bersamanya atau dikenalnya mengenali hal tersebut, bahkan mereka tidak berupaya untuk mengetahuinya serta menegurnya bila ia teralu banyak bertanya.
Setelah tiga tahun, kondisi di atas menjadikannya frustrasi. Kirani merasa imannya, perjuangannya, pengorbanannya selama ini tidak dihargai dengan sepantasnya. Ia merasa berdosa terhadap keluarganya lantaran selama ini – sesuai proposal Jemaah – sudah menampilkan banyak dana yang semestinya untuk hal lain terhadap Jemaah. Ia sudah dibenci orang sekampungnya lantaran mengajak mereka masuk Jemaah. Namun ia tetap dilarang mengenali apapun mengenai organisasi tersebut dan cuma diminta menjadi anggota dan menanti serta menanti tanpa berbuat apa-apa. Hal ini menjadikannya merasa tidak bermanfaat menjadi anggota Jemaah, sehingga pada suatu hari, bareng dengan tiga orang sahabatnya anggota Jemaah, mereka melarikan diri. Setelah melarikan diri inilah Kirani kemudian mengalami ketidakpuasan yang sangat, sehingga ia berontak, dengan menolak semua hal yang dahulu diperjuangkannya di Jemaah. Sebaliknya, sekarang ia mempertanyakan kembali semuanya: agama, Tuhan, tolok ukur moralitas yang diterima penduduk sekelilingnya, dan status perempuan.
Pemberontakan Kirani yang menjadi pelacur mengingatkan pada novel Nawal El Sadaawi, Perempuan di Titik Nol. Namun dalam novel Sadaawi, pemberontakan tersebut khususnya disebabkan kondisi penduduk patriarki – dengan disokong oleh agama - yang terus-menerus menghinakan dan menindas tokoh wanita di dalamnya. Meskipun demikian, dari profesi tersebut kesimpulan keduanya sama: penduduk patriarki yang sepertinya religius sebenarnya sarat kemunafikan, dan korbannya yakni perempuan. Dengan demikian novel ini juga menyuarakan feminisme.
Hal yang menawan bagi saya yakni citra mengenai Jemaah. Kisah ini sanggup mengingatkan kita untuk waspada, lantaran gerakan ini mungkin saja ada di sekeliling kita tetapi kita tidak menyadarinya, lantaran saya pernah juga membaca mengenai pengukuhan seorang mantan anggota gerakan semacam ini, yang kemudian terjaga sehabis membaca buku goresan pena Nawal El Sadaawi dan kemudian beralih haluan menjadi feminis. Sama menyerupai digambarkan dalam novel ini, gerakan tersebut menyerupai sel-sel, anggota tidak mengenali apa-apa mengenai jaringan organisasi, taktik serta pemimpinnya, dan bila anggota tersebut keluar, semuanya terputus. Namun tidak masalah, lantaran anggota biasa tidak mengenali apapun.
Selain citra mengenai Jemaah, pecahan yang menawan yakni saat Kirani sudah memberontak dan kemudian mempertanyakan hal-hal yang selama ini diterimanya begitu saja. Kirani kemudian mempertanyakan, untuk apa Tuhan bikin manusia? Mengapa Tuhan bikin ciptaanNya menderita? Mengapa Tuhan bikin insan untuk saling berselisih lantaran itu ialah kekejaman? Untuk apa insan beribadah bila tidak tahu untuk apa ia diciptakan, untuk apa beribadah bila cuma lantaran takut, mengapa Tuhan bahagia menakuti manusia? Apa artinya orang-orang bertitel dan terpandang yang tak pernah berpikir dan mengerjakan penelusuran makna hidup dan cuma beribadah saja?
Pertanyaan-pertanyaan di atas menarik, lantaran itulah yang senantiasa ditanyakan oleh mereka yang berpikiran bebas; cuma mereka yang berpikiran bebas yang berani mengajukan pertanyaan menyerupai itu, dan di Indonesia, jumlahnya tidak banyak, kalau sanggup dikatakan nyaris tidak ada. Mengapa? Karena setiap orang wajib beragama, dan balasan semua itu ada di agama. Sehingga menanyakan hal-hal di atas akan dianggap tidak beragama. Tapi sebenarnya pertanyaan-pertanyaan di atas yakni sebutan seseorang yang jujur dan rasional. Tidak mesti ialah pertanyaan seorang wanita yang kecewa dan marah. Namun agama memang senantiasa melarang pertanyaan yang terlalu jauh, lantaran kejujuran dan rasionalisme akan mengarah pada skeptisisme dan perlunya pembuktian. Itu sebabnya agama diajarkan sedini mungkin dalam bentuk indoktrinasi dan ancaman, lantaran bila tidak, sanggup diruntuhkan oleh anggapan rasional, kritis, jujur dan bukti-bukti empiris. Itu sebabnya pula sebagian besar ilmuwan dan pemikir besar tak percaya agama.
Hal menawan yang lain yakni citra saat Kirani mengingat-ingat hal yang menjadikannya dahulu taat beribadah. Ternyata hal itu disebabkan saat ia kecil guru mengajinya menguraikan kondisi neraka yang sungguh menakutkan – mengenai api, pemotongan dan penusukan badan menyerupai sate, yang diperjelas dengan gambar-gambar – sesuatu yang pasti mengingatkan kita akan pendidikan agama di masa kecil kita sendiri. Ini mungkin menyadarkan pembaca: ternyata ketaatan itu bermula dari rasa takut akan neraka yang ditanamkan saat masa kanak-kanak. Dan hal ini sungguh efektif, terbukti sehabis remaja sebagian besar orang tidak lagi berani berpikir lantaran kenangan akan hal ini. Dan ini tidak cuma dialami penganut agama Islam.
Di tengah-tengah kebangkitan konservatisme agama, maka novel ini menampilkan alternatif terhadap pembaca untuk merenungkan kembali keyakinannya, walaupun mesti lewat seorang pelacur, sehingga cerita mengenai hubungan bebas agak terlampau banyak terdapat dalam novel ini. Akan lebih baik bila tidak terlampau banyak, sehingga pertanyaan-pertanyaan di atas akan terlihat lebih bermakna dan wajar, tidak menyerupai pertanyaan yang cuma layak disuarakan oleh seseorang yang terlalu putus asa dan merasa terpinggirkan.
Muhidin yakni penulis muda yang menjanjikan. Jika ia tetap berpikiran bebas dan terus menimba ilmu aneka macam hal, tidak cuma yang berhubungan dengan agama, ia akan menjadi penulis yang sanggup menampilkan banyak hal terhadap pembacanya.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: ScriPtaManent
ISBN13: 9789799946119
Format: .pdf
Filesize: 1MB