Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

DOWNLOAD EBOOK NOVEL DALAM SEMESTA CINTA - PIPIT SENJA GRATIS


Adalah sebuah kota kecil di Jawa Barat, Sumedang yang terkenal dengan tahu. Hawa sejuk dan segar dipayungi gunung-gunung. “Gunung Tampomas bagai minta ditaksir. Puncaknya bertakhtakan emas,” demikian kata dalang atau para pendongeng pantun.

Gunung Palasari yang asri. Gunung Kunci tempat rendezvous para kawula muda sepanjang zaman menjadi saksi cinta abadi. Gunung Puyuh tempat istirahat panjang, digunakan sebagai pemakaman umum. Duhai, tak terkira permai pemandangannya! Konon, karena itulah orang Sumedang sungkan untuk merantau selamanya. Sejauh-jauh dia melanglang buana, suatu saat ingin kembali ke kota kelahiran. Aku takkan menulis banyak tentang sejarah Sumedang. Karena itu bukan keahlianku. Jadi, aku hanya akan menuliskan kota kelahiranku dari sudut kenangan di masa kecilku belaka.
Nah, yang senantiasa kuingat Sumedang dengan gunung- gunungnya, sawahnya dan sungainya. Saat kecil bersama sepupu dan adik-adikku sering kecipak-kecibung di Cipicung dan Cileuleuy. Mandi, berenang dan mencuci baju di musim kemarau adalah acara favorit anak-anak dalam keluargaku kala Itu.

Rumah kuno itu, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan sampai kelas empat Sekolah Rakyat ditempati pula oleh keluarga besar kakek-nenekku. Tanahnya milik Yayasan Pangeran Sumedang, kakek diberi hak sewa yang harus dibayar setiap setahun sekali. Letaknya di belakang gedung Kaputren atau Kabupaten yang ditempati oleh keluarga Bupati. Di sebelah kanan ada bangunan SMPN 2, di seberangnya kantor pensiunan. Kalau dilihat dari sudut jalan raya rumah ini tepat di pengkolan Regol. Terkadang kami menyaksikan kejadian mengerikan dari jendela kamar; kucing terlindas truk, nenek-nenek terserempet vespa, becak terjungkal dan anak kecil terjatuh dari boncengan sepeda ibunya. Setidaknya itulah yang pernah kusaksikan.

Nenekku bernama Nyimas Raden Rukmini, konon, masih kerabat kaum bangsawan atau menak Sumedang. Walaupun berasal dari Garut, nenekku lebih bangga menjadi orang Sumedang. Terbukti dari kisah-kisahnya yang kudengar sebelum tidur. Aku dan para sepupu menyebutnya Eni, asal kata dari nini atau nenek. Baik dari pihak Ibu maupun Bapak, aku hanya mengenal mereka sampai jejer orang tua Ibu dan Bapak saja. Kami tak memiliki catatan silsilah keluarga secara detail. Mungkin sudah menjadi kebiasaan mereka tak terlalu mementingkan silsilah.