Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

DOWNLOAD EBOOK NOVEL SEBELAS PATRIOT - ANDREA HIRATA (GRATIS)

DOWNLOAD EBOOK NOVEL SEBELAS PATRIOT - ANDREA HIRATA (GRATIS)


Ayah di Sini

Semua hal yang pernah kuingat tentang Ayahku adalah biasa saja. Sangat biasa. Ingatan pertama tentang Ayah tampak seperti gambar yang samar, yaitu pada suatu malam aku duduk di tengah sebuah ruangan dengan dua anak lain, yang belakang hari nanti mereka adalah Trapani si pemalu dan Mahar si bergajul, dan kami menggoda seekor luak yang baru ditangkap sang tuan rumah, seorang pemburu tua. Belasan lelaki duduk bersila di atas tikar lais. Meski samar, hal ini kuingat, yaitu lampu badai direndahkan ke kandang yang dibuat dari jalinan akar banar di mana luak itu kekenyangan, termenung, dan tak peduli. Kuingat, suara entok bertengkar di bawah lantai papan, dan kuingat lelaki-lelaki yang duduk melingkar itu bersenda gurau tentang kami.

Tiba-tiba Mahar, dengan jarinya, menyentuh hidung luak. Binatang malam itu tersentak lalu mencangar garang. Macam kucing tandang, ia mendesis-desis. Kami terperanjat, terjajar mundur, lalu merangkak terbirit- birit menuju lingkaran lelaki tadi, masing-masing menuju lelaki tertentu, ayah-ayah kami. Lelaki yang kutuju serta-merta bangkit dan terseok-seok menyongsongku. Aku pucat dan gemetar. Didekapnya aku dan sambil tersenyum diletakkannya tangannya di dadaku untuk meredakan gemuruh di situ, kuingat sekali, bahkan hingga dewasa sekarang takkan pernah
kulupa kata-katanya waktu itu:

"Aih, tak apa-apa ... tak apa-apa, Bujang, hanyalah Luak, janganlah takut, Ayah di sini..."

Nah, Kawan, itulah ayahku, dan umurku, mungkin tiga atau empat tahun waktu itu. Setelah itu, biasa saja. Ayah bekerja menjadi kuli di PN Timah, bergegas berangkat kerja naik sepeda, dan bergegas pula pulangnya. Menerima gaji kecil dan beras 60 kilogram setiap tanggal 1.
Selalu begitu, tetap, bertahun-tahun. 

Aku telah melihat orang-orang seperti Ayah ketika mereka baru bekerja, ketika sedang bekerja, dan ketika mereka pensiun. Maka aku dapat membayangkan seperti apa Ayah waktu masih muda dulu, begitu pula Ayah tahun depan, dan setelah tahun depan itu. Pun jika Ayah meninggal, serta berapa lama orang-orang akan mengenangnya. Aku tahu apa yang mereka bicarakan di warung-warung kopi. Yang muda pasti tentang pemerintah atau orkes dangdut. Yang tua, tak ada soal lain, pasti soal masa
sulit penjajahan Belanda. Mereka menggulung lengan baju memperlihatkan bekas luka tembak atau dicambuk Belanda, di sebuah tempat penyiksaan yang kiranya sangat mengerikan yang disebut tangsi. Itulah kisah tua yang sama, yang diceritakan oleh orang-orang tua, yang sama pula.