Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

DOWNLOAD NOVEL EBOOK BEKISAR MERAH - AHMAD TOHARI (GRATIS)

DOWNLOAD NOVEL EBOOK BEKISAR MERAH - AHMAD TOHARI (GRATIS)


Dari balik tirai hujan sore hari pohon-pohon kelapa di seberang lembah itu seperti perawan mandi basah; segar, penuh gairah, dan daya hidup. Pelepah-pelepah yang kuyup adalah rambut basah yang tergerai dan jatuh di belahan punggung. Batang-batang yang ramping dan meliuk-liuk oleh embusan angin seperti tubuh semampai yang melenggang tenang dan penuh pesona. Ketika angin tiba-tiba bertiup lebih kencang pelepah-pelepah itu serempak terjulur sejajar satu arah, seperti tangan-tangan penari yang mengikuti irama hujan, seperti gadis-gadis tanggung berbanjar dan bergurau di bawah curah pancuran.


Pohon-pohon kelapa itu tumbuh di tanah lereng di antara pepohonan lain yang rapat dan rimbun. Kemiringan lereng membuat pemandangan seberang lembah itu seperti lukisan alam gaya klasik Bali yang terpapar di dinding langit. Selain pohon kelapa yang memberi kesan lembut, batang sengon
yang lurus dan langsing menjadi garis-garis tegak berwarna putih dan kuat. Ada beberapa pohon aren dengan daun mudanya yang mulai mekar; kuning dan segar. Ada pucuk pohon jengkol yang berwarna coklat kemerahan, ada bunga bungur yang ungu berdekatan dengan pohon dadap dengan kembangnya yang benar-benar merah. Dan batang-batang jambe rowe, sejenis pinang dengan buahnya yang bulat dan lebih besar, memberi kesan purba pada lukisan yang terpajang
di sana.


Dalam sapuan hujan panorama di seberang lembah itu terlihat agak samar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah. Lihatlah, sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup tiba-tiba awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa dari barat. Lukisan besar di seberang lembah mendadak mendapat pencahayaan yang kuat dan menjadikannya lebih hidup. Warna-warninya muncul lebih terang, matra ketiganya makin jelas. Muncul pernik-pernik mutiara yang berasal dari pantulan sempurna cahaya matahari oleh dedaunan yang kuyup dan bergoyang.


Dari balik bukit, di langit timur yang biru-kelabu, muncul lengkung pelangi. Alam menyelendangi anak-anak perawannya yang selesai mandi besar dengan kabut cahaya warna-warni. Ketika dengan tiba-tiba pula matahari lenyap, suasana kembali samar. Apalagi hujan pun berubah deras menyusul ledakan guntur yang bergema di dinding-dinding lembah. Angin kembali bertiup kencang sehingga pohon-pohon kelapa itu seakan hendak rebah ke tanah. Ketika itulah dada Darsa terasa berdenyut. Darsa yang sejak lama memandangi pohon-pohon kelapanya di seberang lembah itu, hampir putus harapan. Bila hujan dan angin tak kunjung berhenti Darsa tak mungkin pergi menyadap pohon-pohon kelapanya. Sebagai penderes, penyadap nira kelapa, Darsa sudah biasa turun-naik belasan pohon dalam hujan untuk mengangkat pongkor yang sudah penuh nira dan memasang pongkor baru. Namun hujan kali ini disertai angin dan guntur. 


Penderes mana pun tak akan keluar rumah meski mereka sadar akan akibatnya; nira akan masam karena pongkor terlambat diangkat. Nira demikian tidak bisa diolah menjadi gula merah. Kalaupun bisa hasilnya adalah gula gemblung, yakni gula pasta yang harga jualnya sangat rendah.
Padahal, sekali seorang penyadap gagal mengolah nira, maka terputuslah daur penghasilannya yang tak seberapa. Pada saat seperti itu yang bisa dimakan adalah apa yang bisa diutan  dari warung.